Padang Panjang, wartapublika.com – Oknum Guru Matematika di SMA Negeri 1 Padang Panjang berinisial Yel, diduga membuat siswa mati langkah. Dia tak mau memberi kesempatan melakukan remedi bagi anak-anak yang tidak tuntas bidang studi Matematika.
Seorang orangtua siswa bernama Musriadi Musanif mengaku, dia telah berusaha melakukan berbagai pendekatan agar anak diberi kesempatan mengikuti remedi, karena akan berdampak rusaknya nilai anak, dan terancam gagal melanjutkan pendidikan ke lembaga pendidikan favoritnya.
“Anak saya tidak diberi kesempatan untuk mengikuti remedi. Nilai Matematikanya anjlok 77. Padahal sebelumnya nilai Matematika anak itu baik-baik saja. Remedi itu adalah hak anak, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujarnya.
Menurutnya, hanya 77 nilai kasih sayang guru Matematika yang juga merupakan istri dari pembina anaknya di asrama SMAN 1 Padang Panjang tersebut. Ironisnya, nilai KKM Matematika di sekolah itu adalah 80. Jika guru Matematika memberi nilai 77, maka dia menjadi tidak tuntas. Tidak tuntas, katanya, itu artinya adalah merah. “Tidak diberi kesempatan remedi sama artinya mengabaikan hak anak,” ujarnya.
Oknum guru Yel memang ada memberikan soal dan tugas, tapi lembaran soalnya tidak cukup untuk seluruh anak. Mereka disuruh bergantian dan berebutan. Lalu lembar soal itu dibawa pulang oleh anak lainnya. Akibatnya, anak yang tinggal di asrama tidak bisa mendapatkannya. Anak juga disuruh meminjam catatan teman, sementara sang anak hanya sendirian di asrama pada prodi IPS itu.
Selain tidak bisa keluar asrama, dia juga tak dapat menghubungi temannya untuk mendapatkan soal, karena anak asrama tidak boleh menggunakan telepon berbasis android.
Kepala SMAN 1 Padang Panjang Budi Hermawan yang dikonfirmasi berjanji akan memfasilitasi pada Selasa (24/1) ini, karena Senin (23/1) cuti bersama. Namun hingga sore, fasilitasi untuk mendapatkan hak remedi itu tidak terjadi.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Dr. Jasra Putra, M.Pd yang dimintai pendapat terkait hal itu menyebut, seharusnya anak diberikan kesempatan kedua untuk menuntaskan pembelajarannya lewat mekanisme remedi.
“Anak harus diberi kesempatan kedua dengan mengikuti remedi. Dalam pembelajaran merdeka menjadikan anak sebagai pusat pembelajaran, sehingga tak terjadi pelanggaran hak anak,” tegasnya.(red),