Press "Enter" to skip to content

Hubungan Pemerintahan Nagari Dengan Adat Minangkabau

Ampera Salim

Oleh Ampera Salim

Pendahuluan

Perahu yang mengantarkan rombongan Sultan Suri (Sri) Maharajo Dirajo, akhirnya mendarat di pulau Perca, tepatnya di puncak Gunung Merapi. Kapal ini bermuatan enam belas lelaki dan perempuan, ditambah empat orang lainnya yang masing-masing bernama Kho Cin (Kucing Siam), Can Pa (Harimau Campo), Khan Bin (Kambing Hutan), dan Ahan Jin (Anjiang Mualim). Kemudian Sri Maharajo Dirajo dan rombongan turun ke darat. Sementara itu air lautpun beranjak surut.

Selang berapa lama kemudian rombongan Maharajo Dirajo turun ke sebuah tempat yang disebut Labuhan si Tambago, sekitar dua kilo meter dari Nagari Pariangan ke arah puncak Merapi. Di tempat inilah untuk pertama kalinya rombongan itu meneruka sawah yang disebut sawah satampang baniah. Padi inilah yang kemudian menyebar ke seluruh Minangkabau.

Seperti disebutkan Soeardi Idris dalam buku Nagari Sungai Tarab – Salapan Batua, di perkampungan Labuhan si Tambago itu tumbuh pula sepohon galundi. Uratnya tidak mencekam tanah, melainkan memeluk sebuah batu besar seakan-akan orang bersila. Gelundi itulah yang kemudian disebut galundi nan baselo.

Lambat laun penduduk makin bertambah juga, maka sebagian di antaranya pindah membuat perkampungan di daerah baru yang bernama Guguak Ampang. Perkembangan selanjutnya mereka memperluas daerah permukiman.

Di Pariangan pula pertama kali dibangun Rumah Gadang dan Balai Adat. Nagari ini dilengkapi pula dengan gelanggang, labuah nan panjang, sawah dan ladang, pandan pekuburan serta tepian mandi. Pada masa itu pula lahirnya penghulu pertama yang diambak gadang dan dianjung tinggi (diagungkan dan dimuliakan) oleh anak kemenakannya. Penyelenggaraan pemerintahan nagari berpedoman kepada, kemenakan beraja kepada mamak, mamak beraja kepada penghulu, penghulu beraja kepada mufakat, mufakat beraja kepada alur dan patut. Raja yang dimaksudkan di sini adalah buah budi yang dihasilkan oleh mamak, penghulu dan mufakat itu sendiri.

Syarat berdirinya sebuah nagari di Minangkabau

Sejak mulai berdirinya Nagari Pariangan sebagai nagari pertama di Minangkabau, keberadaan nagari telah dianggap oleh nenek moyang orang Minang sebagai sebuahwilayah kesatuan hukum adat.

Terbentuknya sebuah nagari, bermula dari sebuah taratak (suatu perkampungan kecil yang dihuni beberapa keluarga). Taratak ini kemudian berkembang menjadi dusun ( unit-unit keluarga yang sudah menjalin hubugan dalam aturan-aturan yang disepakati bersama). Dusun kemudian berkembang lagi menjadi sebuah koto ( koto sebuah perkampungan yang telah menjadi tempat berkumpulnya beberapa marga / suku). Koto inilah yang akhirnya menjadi sebuah nagari (suatu wilayah kesatuan hukum adat, yang sudah punya pimpinan dan aturan sendiri).

Berdirinya sebuah nagari di Minangkabau, harus memenuhi syarat sebagai berikut: memiliki balai-balai adat (aula tempat berkumpulnya para pangulu mengadakan rapat), memiliki tempat beribadah (Masjid setelah Islam masuk) , memliki labuah (jalan raya dalam kampung) dan memiliki tapian (tempat pemandian) serta harus ada 4 (empat) buah suku ( kelompok keluarga seketurunan dari garis ibu) di dalam nagari itu.

Setiap suku dipimpin seorang panghulu pucuk. Pangulu pucuk memiliki beberapa penghulu pendukung (penungkat) yang mengepalai kehidupan di Rumah Gadang , sebagai tempat berhimpunnya beberapa keluarga batih.

Secara historikal empirik, nagari di dalam realitas keseharian orang Minangkabau telah mampu berperan sebagai satu-satunya institusi yang representatif dan akomodatif terhadap kepentingan dan preferensi rakyatnya.

Seperti diceritakan penulis-penulis Barat, sebagaimana dikutip Rusli Amran dalam Plakat Panjang, nagari adalah kesatuan teritorial dan pemerintahan, yang menjadi dasar Kerajaan Minangkabau dahulunya. Tiap nagari mempunyai pemerintahan sendiri dan Pemerintah Nagari ini dulunya berjalan sangat baik, demokratis dan tidak dapat disalahgunakan oleh pejabat nagari. Kesempatan untuk menyeleweng sedikit sekali. Ini disebabkan kontrol langsung oleh rakyat melalui Pangulu-Pangulu mereka.

Pemerintahan adat di nagari

Sebelum Belanda menjajah negeri ini, seperti disebutkan Budayawan Anas Navis dalam sebuah artikelnya di Tabloid Tuah Sakato, orang Minangkabau tidak mengenal pangkat-pangkat seperti Penghulu Kepala, Kepala Negeri (Gemeentehoofd), Tuanku Laras, Engku Demang, Asisten Demang, Engku Pakuih (Pakhuis) dan juga pangkat-pangkat lain yang hanya dijabat orang-orang Belanda seperti Tuanku Mandor (Kontrolir), Tuan Luhak (Asisten Residen) dan sebagainya.

Seperti disebutkan, orang Minangkabau dahulu mengenal dua pangkat saja, yaitu Penghulu dan Raja sesuai ungkapan Luhak berpenghulu, rantau beraja. Penghululah yang memerintah atau memimpin anak buah di nagari masing-masing.

Pada dasarnya ada dua macam pemerintahan adat di nagari masa lampau, yaitu: Pertama, berdasarkan Asas Parpatiah (Bodi Caniago), yang mengatakan Pemerintahan Minangkabau, dari bersama, oleh bersama dan untuk bersama. Duduk sama rendah, tegak sama tinggi,. Asas Parpatiah ini lebih di kenal dengan sebutan Laras Bodi Caniago.

Dasar pikirannya, konon, pada zaman itu Penghulu di dalam nagari-nagari adalah segala-galanya. Dia raja, dia panglima, dia ayah, dia mamak dan dia tuan dari anak kemenakan yang berada di bawah payungnya. Parpatiah melihat dan merasa, bahwa kekuasaan yang tak terbatas itu dapat mengundang ke sewenang-wenangan, kebengisan, kecongkakan, kekerdilan dan ketidak-adilan.

Untuk menjinakan penghulu ini, di bentuklah dewan nagari yang di sebut, Tungku Tigo Sajarangan. Tungku Tigo Sajarangan ini terdiri dari Penghulu, Cerdik pandai dan Pandito. Di atas tungku Tigo Sajarangan inilah dimasak segala macam bentuk makanan yang akan di suguhkan kepada anak kemenakan, berupa adat istiadat dengan segala undang dan peraturannya.

Di tingkat Luhak, didirikan pula Dewan Luhak yang anggota-anggotanya di pilih dari dan oleh Dewan Nagari di masing-masing Luhak.

Dan setiap nagari hanya di izinkan mengirimkan perwakilannya ke Dewan Luhak sebanyak tiga orang pada setiap kali persidangan. Di tingkat paling atas berdiri Laras Kerapatan Adat Bodi Caniago yang anggotanya berasal dari seluruh anggota Dewan Luhak di tambah dengan utusan daerah-daerah di luar Luhak nan Tigo. Anggota perwakilan ini tetap berada dalam kerangka yang berintikan penghulu, cerdik pandai dan pandito.

Tungku Tigo Sajarangan, baik di Nagari, Luhak dan Laras bukanlah penguasa, tetapi merupakan Kerapatan Adat yang bertugas memberikan petunjuk, pedoman, nasehat dan pertimbangan kepada para penghulu berkaitan dengan penyelenggaraan bimbingan terhadap anak kemenakan dalam mencapai kesejahteraan, ketertiban dan keadilan mardesa. Atau dengan kata lain, membangun keseimbangan dan keselarasan alam Minangkabau dan isinya.

Penghulu tetap sebagai penguasa anak kemenakan, tapi penguasa yang berjalan di dalam garis alur dan patut. Penghulu yang keluar dari garis alur dan patut akan menerima hukuman berbentuk tidak di bawa sehilir-semudikmasuk tak genap, keluar tak ganjil. Bagi penghulu dan juga bagi anggota masyarakat Minangkabau, hukuman tersebut amatlah ditakuti. Bahkan lebih di takuti dari hukum buang atau gantung sekalipun.

Mengambil keputusan pada setiap sidang Dewan Nagari, Dewan Luhak dan Dewan Laras selalu berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat sebagaimana di sebut dalam kata adat :

Bulat air karena pembuluh

Bulat kata karena mufakat

Pipih dapat di layangkan

Bulat dapat di gelindingkan

Seciok bak ayam

Sedencing bak besi.

Kedua, berdasarkan azas Koto Piliangyang merupakan buah budi Datuak Katumangguangan, mempunyai isi yang mirip dengan asas Laras Bodi-Caniago, tapi tak serupa makna dan pelaksanaanya. Dewan Tungku Tigo Sajarangan Nagari, Luhak dan Laras tetap di anut dan dipakai oleh Katumanggungan. Tapi Dewan tersebut bukanlah hanya Dewan Kerapatan Adat saja, melainkan juga penyelenggaraan pemerintahan.

Ia mempunyai seorang ketua, di mana kekuasaan tertinggi atau kata-putus berada di tangannya. Pimpinan tertinggi setiap tingkatan kekuasaan, mulai dari Nagari, Luhak dan Laras haruslah seorang penghulu yang di pilih oleh anggata Dewan. Tapi dalam keadaan tertentu, pimpinan Dewan dapat pula diangkat atau di tunjuk oleh pimpinan Dewan yang lebih tinggi tingkatnya. Sebagai contoh, pimpinan Dewan Nagari dapat di angkat atau di tunjuk oleh pimpinan Dewan Luhak dan seterusnya.

Sebagaimana di ungkapkan fatwa adatnya :

Berjenjang naik

Bertangga turun

Naik dari jenjang paling bawah

Turun dari tangga paling atas

Katumanggungan berpendapat, setiap kebebasan dan kesamarataan yang menjadi hak manusia harus di barengi oleh pembatasan atau pengendalian yang di ciptakan melalui kekuatan atau kekuasaan yang berwibawa.

Namun demikian, Pemerintahan Nagari, yang tadinya seperti republik kecil, berubah menjadi unit pemerintahan terendah sejak campur tangan Belanda. Sejak itu pula Lembaga Pemerintahan Nagari mengalami pergeseran dalam fungsinya dari masa ke masa sesuai kehendak politik pemerintah yang berkuasa. Hal ini menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi dalam kehidupan masyarakat adat dan permasalahan sosial, hukum dan budaya.

Nagari dari masa ke masa

Setelah Minangkabau dikuasai Belanda, begitu berakhirnya Perang Padri pada tahun 1837, dicobalah mengatur pemerintahan seperti model yang telah berlaku di Pulau Jawa, yaitu regen-regen yang disebut juga Regentstelsel. Ketika itu di kawasan pesisir seperti Padang dan Indrapura sudah ada regennya.

Maka diangkatlah regen-regen baru untuk walayah Tanah Datar, Batipuh, Agam, Halaban, Sulit Air dan lain-lain. Namun kemudian jatuh pamor regen-regen itu, seperti yang terjadi di Tanah Datar. Sultan Bagagarsyah Alam yang menjabat Hoofdregent (Regen Kepala) Tanah Datar ditangkap pada tahun 1833, lalu dibuang ke Batavia karena dituduh bersekongkol dengan Sentot Ali Basyah. Demikian pula Regen Batipuh pada tahun 1841 mengangkat senjata yang dikenal dengan nama Perang Batipuh. Setelah ditangkap, regen ini dibuang ke Cianjur.

Maka diganti pulalah Regentstelsel ini dengan Laras-stelsel dan Penghulu Kepala-stelsel. Semenjak pertengahan abad ke sembilan belas itu Minangkabau punya Tuanku Laras (Tuanku Lareh) dan Penghulu Kepala (Panghulu Kapalo), walau sebelum kedatangan orang Belanda kedua pangkat tersebut tidak dikenal.

Pada zaman pendudukan militer Jepang, boleh dikatakan tidak ada perubahan dalam bentuk atau susunan Pemerintahan Nagari. Dengan kata lain Pemerintah Militer Jepang tampaknya membiarkan orang Minangkabau dengan susunan Pemerintahan Nagarinya atau barangkali Pemerintah Jepang tidak mau direpotkan dengan bentuk atau susunan pemerintahan yang ada, karena waktu itu mereka lebih mengutamakan perang menghadapi sekutu dari pada urusan lainnya.

Pada awal Proklamasi, bentuk atau susunan Pemerintahan Nagari masih seperti sebelumnya juga, yaitu dengan Kepala Nagari dan Kerapatan Nagari yang terdiri dari Penghulu-Penghulu.

Pada awal Proklamasi, bentuk atau susunan Pemerintahan Nagari masih seperti sebelumnya juga, yaitu dengan Kepala Nagari dan Kerapatan Nagari yang terdiri dari Penghulu-Penghulu.

Perubahan baru terjadi sejak Pemerintahan Republik Indonesia mulai diatur, yakni tidak lama setelah Proklamasi 1945.

Semenjak berdirinya KNI (Komite Nasional Indonesia) di awal proklamasi, para pejuang atau organisasi perjuangan yang ada di setiap nagari, berhimpun ke dalam KNI di nagari mereka masing-masing.

Jadi, selain susunan Pemerintahan Nagari (model lama), sudah ada pula badan lain seperti berbagai organisasi perjuangan sebagai produk revolusi.

Ketika maklumat No. 20/46 ditanda-tangani oleh Residen Sumatera Barat Dr. M. Djamil pada tanggal 21 Mei 1946. Maklumat itu sendiri, ialah mengenai susunan baru Pemerintahan Nagari, seperti cara-cara baru memilih anggota Dewan Perwakilan Nagari (DPN) serta Wali Nagari yang di jaman sebelumnya tidak dikenal dalam Demokrasi ala Minangkabau.

Para Ninik Mamak amat menyadari, Maklumat No. 20/46 itu akan meluluh-lantakkan sistem Pemerintahan Nagari yang telah mereka anut sejak lama secara turun temurun. Kalau sebelumnya seperti di zaman penjajahan Belanda dulu, anggota Kerapatan Nagari terdiri hanya dari para Penghulu, Orang Tua-Tua dan Cerdik Pandai. Lalu setelah Maklumat itu dicanangkan, susunan anggota Kerapatan Nagari tidaklah seperti zaman lama itu lagi, mereka dipilih langsung dari masyarakat melalui pemilihan, demikian pula jabatan Kepala Nagari yang diubah dengan sebutan Wali Nagari.

Habis Nagari Terbitlah Desa

Bagai petir menyambar di siang bolong, masyarakat Sumatera Barat dikejutkan lagi oleh Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat No. 162/GSB/1983 yang menetapkan berlakunya sistem Pemerintahan Desa terhitung tanggal 1 Agustus 1983 di sepenjuru Sumatera Barat.

Dengan berlakunya Surat Keputusan tersebut, maka jebollah benteng terakhir adat Minangkabau yang bernama nagari berikut sistem pemerintahannya yang unik yaitu Pemerintahan Nagari yang telah dianut masyarakatnya sejak lama secara turun-temurun.

Ungkapan yang mengatakan: Urang Minang babenteang adat (Orang Minangkabau berbenteng adat), sirna sudah. Nagari yang merupakan benteng terakhir pertahanan adatkebanggaan orang Minangkabau diluluh-lantakkan oleh Surat Keputusan Gubernur No. 162/GSB/1983 tersebut.

Perombakan nagari-nagari menjadi desa-desa di Sumatera Barat ini, adalah wujud pelaksanaan Undang-Undang R.I. No. 5 tahun 1979 dengan menjadikan wilayah jorong dalamPemerintahan Nagari model lama menjadi Pemerintahan Desa.

Sedangkan sembilan tahun sebelumnya, bentuk atau susunan Pemerintahan Nagari telah diatur kembali dengan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat No. 155/GSB/1974, yaitu mengenai Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari Dalam Daerah Tingkat I Sumatera Barat.

Apa sebenarnya yang mendorong Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Barat merubah543 nagari menjadi 3.544 desa tersebut?

Sepintas lalu tampaknya selain penyeragaman pemerintahan terendah di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, juga keinginan Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Barat mendapatkan dana Bantuan Desa atau Bandes dalam jumlah yang jauh lebih besar. Jika sebelumnya wilayah pemerintahan terendah adalah Pemerintahan Nagari, berarti Sumatera Barat hanya akan mendapat uang Bandes sebesar 543 nagari x sekian rupiah. Akan tetapi jika pemerintahan terendah Sumatera Barat dijadikan desa, berarti bantuan desa atau bandes yang diperoleh akan jauh lebih besar, yaitu 3.544 desa x sekian rupiah. Tak ayal lagi, jumlah uang inilah yang dikejar Pemerintah Daerah dengan mengorbankan kebanggaan masyarakatnya sendiri, yakni nagari dan adatnya.

Kemudian ternyata memecah sebuah nagari menjadi beberapa desa tidak semulus seperti yang diharapkan Gubernur dengan Surat Kepurusannya No. 162/GSB/1983. Dengan dihapusnya nagari-nagari dan dijadikan desa-desa telah menimbulkan berbagai masalah. Dahulu rata-rata setiap nagari mempunyai sebuah mesjid, sekolah, pasar, kantor untuk Wali Nagari. Lalu setelah dipecah, masing-masing desa baru itu berusaha atau menuntut mendapatkan mesjid, sekolah, pasar dan kantor desa pula seperti ketika masih dalam sebuah nagari. Harta kaum warga dapat saja bertebaran di beberapa desa, padahal kaum yang menjadi pemiliknya berdiam di desa lain. Demikian pula urusan “batagak penghulu nagari”, adat tidak mengenal apa yang dinamakan “batagak penghulu desa”. Belum lagi mengenai “ulayat nagari atau pun kaum”.

Habis Desa Ke Nagari Lagi

Setelah hampir tujuh belas tahun dalam bentuk Pemerintahan Desa dengan berbagai masalah melandanya, Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat ditetapkan kembali ke bentuk sistem Pemerintahan Nagari.

Bagaimana bentuk Pemerintahan Nagari dimaksud, dituangkan dalam Perda (Peraturan Daerah) No. 9 Tahun 2000.

Jika sebelumnya propinsi ini bernama “Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat”, setelah Perda di atas namanya diganti dengan “Daerah Propinsi Sumatera Barat”. Demikian pula sebutan untuk “Daerah Tingkat II Kabupaten”, misalnya “Daerah Tingkat II Kabupaten Agam” kini disebut “Daerah Kabupaten Agam”, sedangkan untuk kota disebut “Daerah Kota”.

Jadi setelah Rancangan Peraturan Daerah atau Rapenda Tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari disetujui atau oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Sumatera Barat pada tanggal 7 Desember 2000 dan ditanda tangani oleh Gubernur Daerah Propinsi Sumatera Barat tanggal 16 Desember 2000 menjadi Perda, maka semenjak itu resmilah Sumatera Barat kembali ke bentuk Pemerintah Nagari, kecuali Kepulauan Mentawai yang kini sudah dijadikan Daerah Kabupaten.

Jika di zaman penjajahan dulu, berbagai masalah adat dan nagari dibicarakan para Ninik Mamak dalam “gedung” yang bernama Balai Kerapatan Nagari, kini lembaga adat yang disebut Lembaga Adat Nagari (LAN) atau nama lainnya yaitu KAN (Kerapatan Adat Nagari) berada di luar Kerapatan Nagari yang kini disebut Dewan Perwakilan Anak Nagari atau DPAN.

Kesimpulan

Jika kita benar-benar ingin merekonstruksi Sistem Pemerinatahan Nagari, maka keberadaan Ninik Mamak Urang Ampek Jinih (Pangulu, Manti, Mualim dan Dubalang) yang ada di nagari, harus dipandang sebagai mitra kerja oleh Lembaga Pemerinatahan Nagari. Meskipun selama ini, keberadaan Ninik Mak\mak Urang A,pek Jinih (UAJ) dalam lembaga pemerintahan desa tidak berfungsi sebagaimana mestinya, namun mereka tetap hidup dalam masyarakatnya (sukunya) masing-masing.

Dengan masih hidupnya peran Ninik Mamak UAJ di dalam suku mereka masing-masing, maka tidaklah mungkin kiranya Pemerintahan Nagari dapat berjalan dengan baik dan efektif, tanpa mengikutsertakan unsur Ninik Mamak UAJ dalam pemerintahan nagari sebagai sosok mewakili anak kemanakan mereka.

Apalagi selama ini telah terbukti di Sumatera Barat, berbagai komplik yang muncul dalam kehidupan masyarakat adat dan permaslahan sosial, hukum dan budaya, ternyata sulit mencari penyelesaiannya tanpa melibatkan Ninik Mamak UAJ yang betul-betul mempunyai kewenangan secara adat serta dipatuhi masyarakat di nagari-nagari.

Namun demikian, seiring dengan perubahan zaman dan terjadinya pergeseran nilai dari Urang Ampek Jinih tersebut, maka kita semua, perlu mencarikan solusi baru untuk mengembalikan semangat kehidupan bernagari, yang sempat meluntur akibat tidak berfungsinya Urang Ampek Jinih dengan optimal dalam pemerintahan nagari pasca berlakunya Pemerintahan Desa di Sumatera Barat.

Daftar Pustaka

Alismarajo dkk, Tantangan Sumatera Barat Mengembalikan Pendidikan Berbudaya Minang, Citra Pendidikan, Jakarta, 2001.

Agustar, Idris, Cindurmato dari Minangkabau, PT.Pertja, Jakarta 1995

Amran, Rusli, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1981.

Anwar,Chairul, Hukum Adat Indonesia (Meninjau Hukum Adat Minangkabau), PT.Rineka Cipta,Jakarta,1997.

Anas, Navis, Nagari-nagari di Minangkabau Tempo Doeloe, Artikel di Harian Singgalang, 2000.